DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Hadits merupakan sumber ajaran islam yang kedua setelah Al-Quran.
Oleh karena itu, penelitian terhadap hadits
Nabi sangat penting. Hadits telah banyak diteliti oleh para ahli bahkan
dapat dikatakan penelitian terhadap hadits lebih banyak kemungkinannya dibandingkan
penelitian terhadap Al-Quran. Dalam yang demikian itu hadits menjadi salah satu
rujukan ulama dalam pengamatan ajaran islam agama setelah Al-quran. Beberapa
fungsi utama hadits adalah sebagian penjelasan Al-Quran, merici ayat-ayat
Al-Quran yang minimal dan sebagaian penentu hukum.
Untuk mengetahui secara esensial tentang hadits Nabi, maka
diperlukan pengetahuan dan pendalaman terhadap jenis-jenis dan macam-macam
hadits, yang mana termasuk hadits shahih dan hadits hasan. Dan mengetahui apa
saja hadits-hadits yang dilihat dari
aspek kuantitas periwayatnya dan aspek kualitasnya, ini memiliki implikasi
penting karena pemahaman terhadap hal tersebut akan membawa pada upaya
pemurnian hadits untuk dijadikan sebagai sumber agama kedua setelah Al-Quran secara
cepat. Dan didalam makalah ini tidak mendeskripsikan tentang semua dan
macam-macam hadits, hanya membahasa tentang
hadits yang ditunjau dari segi kualitasnya, yaitu hadits mutawatir dan
hadits ahad.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangannya,
semoga dengan penulisan makalah ini ilmu pengetahuan kita tentang ingin
medalami hadits bisa bertambah dan semoga
bermanfaat dan barokah.
B. Rumusan masalah
1. Apa pengertian,
syarat-syarat, klasifikasi, dan faedah dari Hadits Mutawatir ?
2. Apa Pengertian dan klasifikasi dari hadits Ahad ?
C. Tujuan
1. Memahami pengertian, dan
mengetahui syarat-syarat, klasifikasi, dan juga
apa saja faedah dari hadits mutawatir.
2. Memahami apa pengertian dari
hadits Ahad dan juga mengetahui klasifikasi hadits Ahad.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hadits Mutawatir
1. Pengertian
Menurut Bahasa, lafadz mutawatir
dapat berarti mutatabi, yaitu sesuatu yang datang secara beriringan
antara satu dan lainnya dan diantara
keduanya tidak ada sekat. Sedangkan menurut istilah, hadits mutawatir dimaknai
sebagai berikut :
ما رواه جمع عن جمع تحيل العادة تواطئهم على
الكذب
Artinya:
“ Hadits diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang menurut adat
mustahil mereka terlebih dahulu bersepakat untuk berdusta”.[1]
Adapun pengertian hadits mutawatir
menurut definisi Nur al-Din ‘Itr, adalah sebagai berikut :
الحديث المتواتر
هو الذي رواه جمع كثير لايمكن تواطئهم على الكذب عن مثلهم إلى انتهاء السند وكان
مستندهم الحس
“ Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang terhindar
dan kesepakatan mereka untuk berdusta sejak awal sanad sampai akhir sanad
dengan didasarkan pada panca indra.”
Habsy Ash-shiddiqie dalam bukunyta
ilmu musthalah Al-Hadits mendefinisikan sebagai: “ hadits yang diriwayatkan
berdasarkan pengamatan panca indera oleh orang banyak yang sejumlahnya menurut
adat kebiasaan mustahil untuk berbuat dusta”.[2]
2.
Syarat-syarat Hadits Mutawatir.
Mengenai syarat-syarat hadits
mutawatir ini, yang terlebih dahulu merincinya adalah ulama ushul. Sementara
para ahli hadits tidak begitu banyak merincikan pembahasan tentang hadits
mutawatir dan syarat-syaratnya tersebut. Karena menurut ulama ahli hadits,
khabar mutawatir yang sedemikian sifatnya, tidak termasuk kedalam pembahasan
‘ilmu Al-isnad, yaitu sebuah disiplin ilmu yang membicarakan tentang shahih
atau tidaknya suatu hadits, diamalkan atau tidaknya, dan juga membicarakan
sifat-sifat rijal-nya yakni para pihak yang banyak berkecimpung dalam
periwayatan hadits, dan tat acara penyampaian. Padahal dalam kajian hadits
mutawatir tidak dibicarakan masalah-masalah tersebut. Karena bila telah
dikertahui statusnya sebagai hadits mutawatir, maka wajib diyakini
kebenarannya, diamalkna kandungannya, dan tidak boleh ada keraguan, sekalipundiantara
perawinya adalah orang kafir.[3]
Sedangkan menurut ulama mutaakhiri,
ahli ushul, suatu hadits dapat ditetapkan sebagai hadits mutawatir, bila
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Diriwayatkan oleh para perawi yang banyak.
Hadits mutaeatir harus diriwayatkan
oleh sejumlah besar perawi yang membawa keyakinan bahwa mereka itu tidak
bersepakat untuk berdusta. Mengenai masalah ini, para ulama berbeda pendapat.
Ada yang menetapkan jumlah tertentu dan ada yang tidak menetapkannya. Menurut
ulama yang tidak mengisyaratkan jumlah tertentu, mereka menegaskan bahwa yang
penting dengan jumlah itu, menurut adat, dapat memberikan keyakinan bahwa yang
diberitakan adalah benar dan mustahil mereka sepakat untuk berdusta.
Menurut ulama yang menetapkan jumlah
tertentu, mereka masih berselisih mengenai jumlahnya. Al-Qadi Al-Baqillani
menetapkan bahwa jumlah perwai hadits mutawatir sekurang-kurangnya 5 orang. Ia
menganalogikan dengan jumlah Nabi yang mendapat gelar Ulul Azmi. Sementara itu,
Astikhary menetapkan bahwa yang paling baik minimal 10 orang sebab jumlah itu
merupakan awal bilanagn banyak.
Ulama lain menentukan 12 orang
berdasarkan firman Allah SWT. Dalam surat Al-Maidah ayat 12 :
وَبَعَثْنَا مِنْهُمُ اثْنَيْ عَشَرَ نَقِيبًا
Artinya:
“ ….. dan kami telah mengangkut dua belas orang pemimpin di antara
mereka…” (Q.S. Al-Maidah: 12).
Sebagian ulama menetapkan
sekurang-kurangnya 20 orang. Sesuai dengan firman Allah SWT. Dalam surat
Al-Anfal ayat 65 :
إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ
Artinya :
“ …. Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya
mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh….. “ (Q.S. Al-Anfal :65)
Ayat ini memberikan motivasi kepada
orang mukmin yang tahan uji bahwa hanya dengan jumlah 20 orang mereka mampu
mengalahakan 200 orang kafir.
Ada pula yang mengatakan bahwa
jumlah perawi yang diperlukan dalam hadits minimal 40 orang berdasarkan firman
Allah SWT. Dalam surat Al-Anfal ayat 64 :
يَا
أَيُّهَا النَّبِيُّ حَسْبُكَ اللَّهُ وَمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
Artinya :
“ Wahai Nabi (Muhammad)! Cukupklah Allah (menjadi pelindung) bagimu
dan bagi orang-orang mukmin yang mengikutimu.” (Q.S. Al-Anfal: 64)
Pada saat ayat itu diturunkan, jumlah
umat islam baru mencapai 40 orang. Hal ini sesuai dengan hadits riwayat
Ath-Thabrani dan Ibnu Abi Hatim dari Ibu Abbas, ia berkata, “ telah masuk islam
Bersama Rasulullah SAW. Sebanyak 33 laki-laki dan 6 orang perempuan. Kemudian
Umar masuk islam, jadilaj 40 orang islam.
Selain pendapat tersebut, ada juga
yang menetapkan jumlah perawi dalam hadits mutawatir sebanyak 70, sesuai dengan
firman Allah SWT. Dalam surat Al-A’raf ayat 155 :
وَاخْتَارَ مُوسَىٰ قَوْمَهُ سَبْعِينَ رَجُلًا لِمِيقَاتِنَا
Artinya :
“ Dan Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohon
tobat kepada kami) pada waktu yang telah kami tentukan…” (Q.S. Al-A’raf :155)
Mudasir dan Fathurrahman menjelaskan
bahwa penentuan jumlah tertentu sebagaimana sisebutkan di atas bukan hal yang
prinsip sebab persoalan pokok yang dijadikan ukurann tidak terbatas pada
jumlah, tetapi diukur pada tercapainya Ilmu Daruri. Sekalipun jumlah perawinya
tidak banyak, asalkan telah memberikan keyakinan bahwa berita yang mereka
sampaikan itu benar, dapat dimasukkan sebagai hadits mutawatir.[4]
b. Adanya keseimbangan Antara perawi
pada Thabaqat pertama dengan Thabaqat berikutnya.
Jumlah perawi hadits mutawatir,
antara Thabaqat (lapisan/tingkatan) dengan thabaqat lainnya harus seimbang.
Dengan demikian, bila suatu hadis diriwayatkan oleh dua puluh orang sahabat,
kemudain diterima oleh sepuluh tabi’in, dan selanjutnya hanya diterima oleh
lima tabi’in, tidak dapat digolongkan sebagai hadits mutawatir, sebab jumlah
perawinya tidak seimbang antara Thabaqat pertama dengan Tbahaqat-thabaqat
seterusnya.
Akan tetapi ada juga yang
berpendapat, bahwa keseimbangan jumlah perawi pada tiap thabaqat tidaklah
terlalu penting. Sebab yang diinginkan dengan banyaknya perawi adalah
terhindarnya kemungkinan berbohong.[5]
c. Berdasarkan penglihatan langsung (indriawi) atau empiris.
Berita yang disampaikan oleh perawi
harus berdasarkan tanggapan panca indra. Artinya, berita yang disampaikan harus
merupakan hasil pendengaran atau penglihatan sendiri.dengan demikian, apabila
berita itu merupakan hasil renungan, pemikiran, atau rangkuman dari peristiwa
lain ataupun hasil intinbat dari dalil yang lain, tidak dapat disebut hadis
mutawatir.
Dengan persyaratan yang ketat di
atas, mungkinkah ada hadits mutawatir? Menurut Ibnu Hibban dan Al-Hazimy,
hadits mutawatir tidak mungkin ada karena persyaratannya sangat ketat. Adapun
menurut Ibnu Shalah, hadits mutawatir mungkin ada, tetapi jumlahnya sedikit,
sedangkan menurut Ibnu Hajar, hadits mutawatir banyak. Hal itu terbukti dengan
munculnya kitab-kitab yang menghimpun hadits mutawatir :
1) Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi
Al-Akhbar Al-Mutawatirah karya As-Suyuthi (911 H)
2) Nadhum Al-Mutanatsir min Al-Haits
Al-Mutawatir karya Muhammad Abdullah bin Ja’far Al-Kattany (1345 H).[6]
3.
Klasifikasi Hadits Mutawatir.
Para ulama berselisih pendapat
tentang pembagian hadits mutawatir. Menurut sebagian ulama, hadits mutawatir
dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu Mutawatir lafdzi dan mutawatir
ma’nawi. Sementara itu, menurut sebagian ulama yang lain, hadits mutawatir
dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu hadits mutawatir lafdzi, mutawatir
ma’nawi, dan mutawatir ‘amali.
Terjadinya perbedaab pendapat
tersebut tidak terlepas dari perbedaan jumlah perawi hadits mutawatir dan persepsi
mereka tentang kata-kata “ mustahil menurut adat” bahwa jumlah perawi yang
dimaksud telah dianggap mustahil untuk berdusta, tetapi menurut adat yang lain
tidak dianggap demikian.
a. Hadits Mutawatir Lafdzi.
Menurut Nur al-Din ‘Itr, yang
dimaksud dengan hadits mutawatir adalah : “ma tawatarat riwayatuhu ‘ala lafdizn
wahidin”, yaitu hadits yang mutawatir periwayatannya dalam satu lafadz.
Sedangkan Mahmud al-Thahhan mendefinisikan hadits mutawatitr lafdzin sebagai
“ma tawatara lafdzuhu wa ma’nahu”, yaitu hadits yang mutawatir baik lafadz
maupun maknanya..
Sementara itu, Muhammad al-Shabbag
mendefinisikan hadits mutawatir lafdzi dengan hadits yang diriwayatkan oleh
banyak perawi sejak awal sampai akhir sanadnya, dengan memakai lafadz yang sama
(lafdzun wahid).
Berdasarkan beberapa definisi di
atas, Nampak bahwa kriteria yang ditetapkan dalam hadits mutawatir lafdzi
sangatlah ketat. Sehingga jika dilihat dari segi kuantitasnya, maka jumlah
hadits tipe ini sangat sedikit sekali. Bahkan hadits mutawatir menurut Ibn
al-Shalih yang diikuti oleh al-Nawai, bahwa hadits mutawatir lafdzi sukar
dikemukakan contohnya selain hadits tentang ancaman Rasulullah terhadap orang
yang mendustakan sabdanya dengan ancaman neraka.
Namun pendapat ditolak oleh Ibn
Hajar Al-Asqalani. Menurutnya, bahwa pendapat yang menentapkan hadits mutawatir
lafdzi tidak ada, atau sedikit sekali dalah menjadi karena kurang mengetahui
jalan-jalan atau keadaan-keadaan perawi serta sifat-sifatnya yang mengkehendaki
bahwa mereka itu tidak mufakat untuk berdusta, atau karena kebetualn saja.
Menurutnya lebih lanjur, diantara dalil yang paling baik untuk menetapkan
adanya hadits mutawatir adalah kitab-kitab yang sudah terkenal diantara ahli
ilmu, yang mereka sudah yakin sah disandarkan kepada pengarang-pengarangnya,
apabila berkumpul untuk meriwayatkan hadits dengan berbagai jalan, tentulah
meberikan disandarkan kepada yang menyabdakannya.
Diantara contoh hadits mutawatir lafdzi adalah sabda Rasulullah
SAW. Sebagai berikut :
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ
النَّار
Artinya :
“ barang siapa berbuat dusta terhadap diriku secara sengaja,
hendaklah ia menempati tempatnya di neraka”.
Menurut al-Imam Abu Bakar al-Sairi,
bahwa hadits ini diriwayatkan secara marfu’ oleh lebih dari enam puluh sahabat.
Sebagaimana ahli huffaz mengatakan, hadits ini diriwayatkan oleh enam puluh dua
sahabat, termasuk sepuluh sahabat yang telah diakui akan masuk surga. Menurut
mereka, tidak diketahui hadits lain yang didalam perawinya terkumpul sepuluh
sahabat yang diakui akan masuk surge, kecuali hadits ini. Menurut sebagian yang
lain menyatakan, hadits ini diriwayatkan oleh dua ratus sahabat. Ibrahim
al-Habari dan Abu Bakar al-Bazzari mengatakan, hadits ini diriwayatkan oleh
empat puluh sahabat, Abu al-Qasim ibn Manduh berpendapat bahwa hadits ini
diriwayatkan oleh lebih dari delapan puluh orang. Ada juga yang menyatakan,
diriwayatkan oleh seratus sahabat.[7]
b. hadits mutawatir ma’nawi
hadits mutawatir ma’nawi adalah
hadits yang lafazh dan maknanya berlainan antara satu riwayat dan riwayat
lainnya, tetapi terdapat persesuaian makna secara umum (kulli). Hal ini
sebagaimana dinyatakan dalam kaidah ilmu hadits,
ﻤﺎﺍﺤﺘﻠﻔﻮﺍ ﻔﻰ ﻠﻔﻈﻪ ﻮﻤﻌﻧﺎﻩ ﻤﻊ ﺮﺠﻮﻋﻪ ﻠﻤﻌﻧﻰ ﻜﻠﻲ
Artinya :
“Yang berlainan bunyi dan maknanya, tetapi dapat diambil makna umum”.
Contoh hadits mutawatir ma’nawi adalah :
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَرْفَعُ
يَدَيْهِ فِي شَيْءٍ مِنْ دُعَائِهِ إِلَّا فِي الِاسْتِسْقَاءِ وَإِنَّهُ
يَرْفَعُ حَتَّى يُرَى بَيَاضُ إِبْطَيْهِ
Artinya :
“Nabi SAW. Tidak mengangkat kedua tangannya dalam do’a-do’a beliau,
kecuali dalam shalat istisqa, dan beliau mengankat tangannya hingga tampak
putih-putih kedua ketiaknya. (H.R. Bukhari)
Hadits-hadits yang semakna dengan
hadits tersebut banyak sekali lebih dari 100 hadits.
c. hadits mutawatir ‘Amali.
Hadits mutawatir ‘amali adalah :
ﻤﺎﻋﻟﻡ ﻤﻦ ﺍﻟﺪﻴﻥ
ﺑﺎﻟﺿﺭﻭﺭﺓ ﻭﺗﻭﺍﺗﺭ ﺑﻴﻥ ﺍﻟﻤﺴﻟﻤﻴﻥ ﺍﺫﺍﻟﻨﺑﻲ ﺻﻟﻰﺍﷲ ﻋﻟﻴﻪ ﻭﺴﻠﻡ ﻔﻌﻟﻪ ﺍﻭ ﺍﻤﺭﺑﻪ ﺍﻭ ﻏﻴﺭ ﺫﻟﻚ
ﻭﻫﻭ ﺍﻠﺫﻯ ﻴﻨﻄﻖ ﻋﻠﻴﻪ ﺘﻌﺮﻴﻒ ﺍﻷ ﺠﻤﺎﻉ ﺍﻧﻄﺑﺎﻘﺎ ﺻﺤﻴﺤﺎ
“sesuatu yang diketahui dengan mudah bahwa ia dari agama dan telah
mutawatir di kalangan umat Islam bahwa Nabi Muhammad SAW. Mengajarkannya atau
menuruhnya atau selain dari itu. Dari hal itu dapat dikatakan soal yang telah
disepakati.
Contoh hadits mutawatir ‘amali
adalah berita-berita yang menerangkan waktu dan rakaat shalat, shalat jenazah,
shalat ‘Ied, hijab perempuan yang bukan mahram, kadar zakat, dan segala rupa
amal yang telah menjadi kesepakatan ‘ijma.[8]
4. Faedah
mempelajari hadits mutawatir.
Hadits mutawatir memberikan faedah ilmu
dharuri, yakni keharusan untuk menerima dan mengamalkannya sesuai dengan yang
diberitakan oleh hadits mutawatir hingga membawa pada keyakinan yang qath’I
(pasti).
Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa
hadits dianggap mutawatir oleh sebagian golongan membawa keyakinan pada
golongan tersebut, tetapi tidak bagi golongan lain yang tidak menganggap bahwa
hadits tersebut mutawatir. Barang siapa yang telah meyakini ke-mutawatir-an
hadits diwajibkan untuk mengamalkannya sesuai dengan tuntunannya. Sebaliknya,
bagi mereka yang belum mengetahui dan meyakini ke-mutawatiran-nya, wajib
baginya mempercayai dan mengamalkna hadits mutawatir yang disepakati para ulama
sebagaimana kewajiban mereka mengikuti ketentuan-ketentuan hukum yang disepakati
oleh ahli ilmu.
Para perawi mutawatir hadits
mutawatir tidak perlu dipersoalkan, baik mengenai keadilan maupun kedhabitannya
karena danya persyaratan yang begitu
ketat menjadikan mereka tidak mungkin sepakat untuk berdusta. Para ulama ushul
dan Imam Nawawi dalam Syarah Muslim tidak menetapkan syarat “muslim” bagi para
perawi haditsbmutawatir. Ada pula yang mengatakan bahwa hadits mutawatir tidak termasuk dalam pembahasanilmu
hadits sebab ilmu hadits membicarakan shahih atau tidaknya hadits dilihat dari
para perawi dan cara menyampaikan periwayatnya, sedangkan dalam hadits
mutawatir kualitas para perawinya tidak dijadikan sasaran pembahasan. Yang
menjadi titik tekan dalam hadits mutawatir adalah kuantitas perawi dan
kemungkinan ada-tidak adanya kesepakatan.[9]
B. Hadits Ahad.
1.
Pengertian
Hadist ahad jama’ dari kata “ahad”,
menurut Bahasa berarti Alwahid atau Satu. Dengan demikian Khabar wahid adalah
suatu berita yang disampaikan oleh satu orang.
Sedangkan
yang dimaksud dengan hadist Ahad menurut istilah banyak didefinisikan para
ulama, antara lain sebagai berikut yang artinya :
“Khabar yang jumlah perawinya tidak mencapai Batasan jumlah perawi
hadits mutawatir baik perawi itu satu, dua, tiga, empat, lima, dan seterusnya
yang tidak memberikan pengertian bahwa jumlah tersebut tidak sampai kepada
jumlah perawi hadits mutawatir”.
Dari
beberapa definisi diatas, jelaslah bahwa disamping hadist ahad tidak sampai
kepada jumlah perawi hadist mutawatir, kandungannyapun bersifa zhanny dan tidak bersifat qath’i.
Abdul Wahab Khalaf menyebutkan bahwa
hadits ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu, dua orang atau sejumlah
orang tetapi jumlahnya tidak sampai kepada jumlah perawi hadits mutawatir.
Keadaan perawi seperti ini terjadi sejak perawi pertama sampai perawi terakhir.
Jumhur
Ulama sepakat bahwa beramal dengan hadits ahad yang telah memenuhi ketentuan
maqbul hukumnya wajib. Abu hanifah, imam Assyafii dan Imam Ahmad memakai hadits
ahad bila syarat-syarat perawinya yang sahih terpenuhi.[10] Hanya saja Abu Hanifah menetapkan syarat stiqqah dan adil
bagi perawinya serta amaliyah tidak menyalahi hadits yang diriwayatkan.
Sedangkan
golongan qadariyah, Rafidhah dan sebagian ahli Zhahir menetapkan bahwa beramal
dengan dasar hadits ahad hukumnya tidak wajib. Aljuba’I dari golongan Mu’tazilah
menetapkan tidak wajib beramal kecuali berdasarkan hadits yang diriwayatkan
oleh dua orang yang diterima dari dua orang.
Sementara
yang lain mengatakan tidak wajib beramal kecuali hadist yang diriwayatkan oleh
empat orang dan diriwayatkan oleh empat puluh orang.[11]
2. Klasifikasi
hadits Ahad
Melihat
dari jumlah perawinya, hadits ahad dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu
Masyhur, Aziz, dan Gharib.
a. Mansyhur
Hadits mansyhur adalah hadis yang
diriwayatkan oleh lebih dari tiga perawi dan belum mencapai batas mutawatir.
Apabila dalam salah satu thabaqohnya (jenjang) dari thobaqat sanad terdapat
tiga perawi maka hadits tersebut dikategorikan hadits masyhur, sekalipun pada
thabaqat sebelum atau sesudahnya terdapat banyak perawi.
Istilah masyhur sering juga
digunakan untuk mengungkapkan hadits-hadits yang populer di masyarakat atau
komunitas tertentu.
Ada beberapa buku yang dapat
dijadikan sebagai rujukan untuk mencari hadits-hadits yang masyhur di kalangan
masyarakat di antaranya: al-Maqashid al-Hasanah fi al-Ahadits al-Musytahirah
‘ala al-Alsinah, karya al-hafidz Syamsuddin Muhammad al-Sakhawi (W. 902 H),
dan Kasyfu al-Khafa wa Muzilu al-Ilbas, karya Ismail al-‘Ajaluni (W.1162
H).
Selain masyhur, terdapat istilah
lain yang digunakan oleh sebagian ulama untuk mengungkapkan makna ini, yaitu mustafidh.
Istilah ini sering digunakan para ulama ushul fiqih. Sebagian ulama memasukkan mustafidh
dalam bagian hadits ahad. Adapun yang mensinonimkan hadits masyhur dengan mustafidh.
Dari beberapa referensi yang ada dan dengan memperhatikan ungkapan yang
digunakan oleh para ulama dalam membedakan dua jenis hadits nampaknya tidak
terdapat Batasan yang jelas antara masyhur dan mustafidh.[12]
b. Aziz
Hadits Aziz adalah hadits yang
diriwayatkan oleh dua atau perawi dalam salah satu thabaqatnya. Ini
adalah definisi Ibn Shalah dan diikuti pula oleh imam Nawawi. Hadits riwayat
dua atau tiga perawi dapat dikategorikan Aziz. Ibn Hajar lebih condong pada
riwayat dua orang untuk definisi dan tiga orang untuk definisi Masyhur.
Contoh hadits yang dikategorikan
Aziz, adalah :
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ
وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ
Artinya:
“ Belum sempurna iman seseorang jika ia belum mencitaiku
melebihi cintanya kepada orang tuanya, anaknya dan semua orang”.
c. Gharib
Hadits gharib adalah hadits yang
hanya diriwayatkan oleh satu orang dalam salah thabaqatnya. Dinamakan
demikian karena ia tampak menyendiri, seakan-akan terasing dari yang lain,atau
jauh dari tataran masyhur apalagi mutawatir. Ibarat orang yang pergi jauh
terasing dari sanak keluarganya. Para ulama membagi hadits menjadi dua
berdasarkan letak keterasingannya :
1) Gharib Mutlak
Dikatakan gharib mutlak, jika dalam salah satu tingkatan sandnya
terdapat hanya seorang perawi yang meriwayatkan. Misalnya hadits shahih yang artinya:
“ ada dua kalimat yang ringan untuk diucapkan oleh lidah namun
berat bobot timbanganya dan sangat dicintai oleh Allah, kalimat itu adalah subhanallahil adlim
subhanallah wa bi hamdih”
Hadits ini pada tingkatan sahabat diriwayatkan hanya oleh Abu
Hurairah, demikian pula pada tingkatan berikutnya yang hanya diriwayatkan oleh
seseorang perawi.
2) Gharib nisbi
Gharib nisbi yaitu hadis yang dalam sanad nya terdapat perbedaan
yang membedakan dengan kondisi mayoritas sanad. Gharib nisbi tidak berkaitan
dengan jumlah perawi, namun lebih pada kondisi yang asing atau beda bila
dibanding dengan kondisi sanad lain. Perbedaan tersebut bisa berkaitan dengan
tempat atau sifat perawi. Misalnya dalam sebuah sanad haditsseluruh perawinya
berasal dari kota yang sama, Bashrah misalnya. Atau mereka memiliki predikat
sifat yang sama, yaitu tsiqah.
Istilah lain yyang
disepadankan dengan Gharib adalah munfarid. Sebagian ulama membedakan dua
istilah tersebut seperti Al-Qariyy yang kemudian dianut oleh Nuruddin ‘Itr’.
‘Itr menilai ada sisi-sisi tertentu yang tidak bisa disepadankan, terutama yang
berkaitan dengan contoh pembagiannya.
Sebagian ulama
lain justru menyamakan dua istilah tersebut baik secara etimologi maupun
terminologi. Mereka menilai bahwa perbedaan sebenarnya bukan pada masalah
essensial, namun sebatas pengkategorian kasus. Pendapat ini dianut ini Muhammad
Adib Sholeh.
Ditinjau dari
aspek kualitas hadist ahad ada yang berstatus shoheh, ada yang hasan dan ada
pula yang dhaif’, bergatung pada syurut al Qabul (syarat-syarat penerima
hadits). Jika memenuhi syarat dapat dikatagorikan hadits ahad yang shohih atau
hasan, jika tidak makam dhaif’.[13]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Hadits mutawatir dapat berarti mutatabi, yaitu sesuatu yang
datang secara beriringan antara satu dan lainnya dan diantara keduanya tidak
ada sekat. Sedangkan menurut istilah, hadits mitawatir adalah Hadits yang
diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang menurut adat mustahil mereka
terlebih dahulu bersepakat untuk berdusta. Dan adapun untuk klasifikasi hadits
mutawatir terbagi menjadi 3 yaitu: Hadits Mutawatir Lafdzi, Hadits
Muitawatir Ma’nawi, dan Hadits Mutawatir ‘Amali. Dan juga faedah
mempelajari hadits mutawatir adalah memberikan faedah dhahuri, yakni keharusan
untuk menerima dan mengamalkannya sesuai dengan ynag diberikan oleh hadits
mutawatir hingga membawa pada keyakinan yang qath’i.
Hadits ahad menurut Bahasa berarti Al-wahid atau satu, sedangkan
hadits ahad menurut istilah adalah khabar yang jumlah perawinya tidak mencapai
Batasan jumlah perawi hadits mutawatir baik perawi itu satu, dua, tiga, empat,
lima, dan seterusnya yang tidak memberikan pengertian bahwa jumlah tersebut
tidak sampai kepada jumlah perawi hadits. Dan adapun kalsifikasi hadits Ahad
terbagi menjadi 3 yaitu: Mansyhur, ‘aziz, dan Gharib
DAFTAR
PUSTAKA
Hasan, Mustofa. 2012. Ilmu
Hadis. Bandung : Pustaka Setia.
Ichwan, Mohammad Nor. 2013. Membahas
Ilmu-Ilmu Hadits. Semarang: Rasail Media Group.
Semeer, Zeid B. 2008. Ulumul Hadits. Malang: UIN-Malang
Press.
Solahudin, Agus. 2009. Ulumul Hadits. Bandung: Pustaka
Setia.
Suparta, Munzier. 2002. Ilmu
Hadis. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
[1]
Mustofa Hasan, Ilmu Hadis,Pustaka Setia,Bandung,2012,hlm:193
[2]
Mohammad Nor Ichwan, Membahas Ilmu-Ilmu Hadits, Rasail Media Group,
Semarang, 2013, hlm: 169
[3]
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002,
hlm: 97
[4]
Mustofa Hasan, op cit, hlm: 195
[5] Munzier Suparto, op cit, hlm:100
[6] Mustofa Hasan, op cit, hlm:196
[7]
Muhammad Nor Ichwan, op cit, hlm: 176-178
[8]
Agus Solahudin, Ulumul Hadits, Pustaka Setia, Bandung, 2010, hlm:
131-132.
[9] Op
cit, Mustofa Hasan, hlm: 200-201
[10]
Ibid Munzier Suparta hal. 109
[11]
Munzier Suparta, op cit, hlm. 107-110
[12] Zeid
B. Smeer, Ulumul Hadits, UIN-Malang Press, Malang, 2008, hlm: 43
[13] Ibid,
hlm: 45-46
Tidak ada komentar:
Posting Komentar