Makalah Ulumul Hadits: Hadits Ahad dan Hadits Mutawatir




DAFTAR ISI







BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.

Hadits merupakan sumber ajaran islam yang kedua setelah Al-Quran. Oleh karena itu, penelitian terhadap hadits  Nabi sangat penting. Hadits telah banyak diteliti oleh para ahli bahkan dapat dikatakan penelitian terhadap hadits lebih banyak kemungkinannya dibandingkan penelitian terhadap Al-Quran. Dalam yang demikian itu hadits menjadi salah satu rujukan ulama dalam pengamatan ajaran islam agama setelah Al-quran. Beberapa fungsi utama hadits adalah sebagian penjelasan Al-Quran, merici ayat-ayat Al-Quran yang minimal dan sebagaian penentu hukum.
Untuk mengetahui secara esensial tentang hadits Nabi, maka diperlukan pengetahuan dan pendalaman terhadap jenis-jenis dan macam-macam hadits, yang mana termasuk hadits shahih dan hadits hasan. Dan mengetahui apa saja  hadits-hadits yang dilihat dari aspek kuantitas periwayatnya dan aspek kualitasnya, ini memiliki implikasi penting karena pemahaman terhadap hal tersebut akan membawa pada upaya pemurnian hadits untuk dijadikan sebagai sumber agama kedua setelah Al-Quran secara cepat. Dan didalam makalah ini tidak mendeskripsikan tentang semua dan macam-macam hadits, hanya membahasa tentang  hadits yang ditunjau dari segi kualitasnya, yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangannya, semoga dengan penulisan makalah ini ilmu pengetahuan kita tentang ingin medalami hadits bisa bertambah dan semoga  bermanfaat dan barokah.

B. Rumusan masalah

1.  Apa pengertian, syarat-syarat, klasifikasi, dan faedah dari Hadits  Mutawatir ?
2. Apa Pengertian dan klasifikasi dari hadits Ahad ?

C. Tujuan

1. Memahami pengertian, dan mengetahui syarat-syarat, klasifikasi, dan juga  apa saja faedah dari hadits mutawatir.
2. Memahami apa pengertian dari hadits Ahad dan juga mengetahui klasifikasi hadits Ahad.
















BAB II

PEMBAHASAN

 

A. Hadits Mutawatir

1. Pengertian

Menurut Bahasa, lafadz mutawatir dapat berarti mutatabi, yaitu sesuatu yang datang secara beriringan antara  satu dan lainnya dan diantara keduanya tidak ada sekat. Sedangkan menurut istilah, hadits mutawatir dimaknai sebagai berikut :

ما رواه جمع عن جمع تحيل العادة تواطئهم على الكذب

Artinya:
“ Hadits diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang menurut adat mustahil mereka terlebih dahulu bersepakat untuk berdusta”.[1]
Adapun pengertian hadits mutawatir menurut definisi Nur al-Din ‘Itr, adalah sebagai berikut :
الحديث المتواتر هو الذي رواه جمع كثير لايمكن تواطئهم على الكذب عن مثلهم إلى انتهاء السند وكان ‏مستندهم الحس

“ Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang terhindar dan kesepakatan mereka untuk berdusta sejak awal sanad sampai akhir sanad dengan didasarkan pada panca indra.”
Habsy Ash-shiddiqie dalam bukunyta ilmu musthalah Al-Hadits mendefinisikan sebagai: “ hadits yang diriwayatkan berdasarkan pengamatan panca indera oleh orang banyak yang sejumlahnya menurut adat kebiasaan mustahil untuk berbuat dusta”.[2]

2. Syarat-syarat Hadits Mutawatir.

Mengenai syarat-syarat hadits mutawatir ini, yang terlebih dahulu merincinya adalah ulama ushul. Sementara para ahli hadits tidak begitu banyak merincikan pembahasan tentang hadits mutawatir dan syarat-syaratnya tersebut. Karena menurut ulama ahli hadits, khabar mutawatir yang sedemikian sifatnya, tidak termasuk kedalam pembahasan ‘ilmu Al-isnad, yaitu sebuah disiplin ilmu yang membicarakan tentang shahih atau tidaknya suatu hadits, diamalkan atau tidaknya, dan juga membicarakan sifat-sifat rijal-nya yakni para pihak yang banyak berkecimpung dalam periwayatan hadits, dan tat acara penyampaian. Padahal dalam kajian hadits mutawatir tidak dibicarakan masalah-masalah tersebut. Karena bila telah dikertahui statusnya sebagai hadits mutawatir, maka wajib diyakini kebenarannya, diamalkna kandungannya, dan tidak boleh ada keraguan, sekalipundiantara perawinya adalah orang kafir.[3]
Sedangkan menurut ulama mutaakhiri, ahli ushul, suatu hadits dapat ditetapkan sebagai hadits mutawatir, bila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a. Diriwayatkan oleh para perawi yang banyak.
Hadits mutaeatir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang membawa keyakinan bahwa mereka itu tidak bersepakat untuk berdusta. Mengenai masalah ini, para ulama berbeda pendapat. Ada yang menetapkan jumlah tertentu dan ada yang tidak menetapkannya. Menurut ulama yang tidak mengisyaratkan jumlah tertentu, mereka menegaskan bahwa yang penting dengan jumlah itu, menurut adat, dapat memberikan keyakinan bahwa yang diberitakan adalah benar dan mustahil mereka sepakat untuk berdusta.
Menurut ulama yang menetapkan jumlah tertentu, mereka masih berselisih mengenai jumlahnya. Al-Qadi Al-Baqillani menetapkan bahwa jumlah perwai hadits mutawatir sekurang-kurangnya 5 orang. Ia menganalogikan dengan jumlah Nabi yang mendapat gelar Ulul Azmi. Sementara itu, Astikhary menetapkan bahwa yang paling baik minimal 10 orang sebab jumlah itu merupakan awal bilanagn banyak.
Ulama lain menentukan 12 orang berdasarkan firman Allah SWT. Dalam surat Al-Maidah ayat 12 :

وَبَعَثْنَا مِنْهُمُ اثْنَيْ عَشَرَ نَقِيبًا
Artinya:
“ ….. dan kami telah mengangkut dua belas orang pemimpin di antara mereka…” (Q.S. Al-Maidah: 12).
Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Sesuai dengan firman Allah SWT. Dalam surat Al-Anfal ayat 65 :

إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ
 Artinya :
“ …. Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh….. “ (Q.S. Al-Anfal :65)
Ayat ini memberikan motivasi kepada orang mukmin yang tahan uji bahwa hanya dengan jumlah 20 orang mereka mampu mengalahakan 200 orang kafir.
Ada pula yang mengatakan bahwa jumlah perawi yang diperlukan dalam hadits minimal 40 orang berdasarkan firman Allah SWT. Dalam surat Al-Anfal ayat 64 :
 يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ حَسْبُكَ اللَّهُ وَمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
Artinya :
“ Wahai Nabi (Muhammad)! Cukupklah Allah (menjadi pelindung) bagimu dan bagi orang-orang mukmin yang mengikutimu.” (Q.S. Al-Anfal: 64)
Pada saat ayat itu diturunkan, jumlah umat islam baru mencapai 40 orang. Hal ini sesuai dengan hadits riwayat Ath-Thabrani dan Ibnu Abi Hatim dari Ibu Abbas, ia berkata, “ telah masuk islam Bersama Rasulullah SAW. Sebanyak 33 laki-laki dan 6 orang perempuan. Kemudian Umar masuk islam, jadilaj 40 orang islam.
Selain pendapat tersebut, ada juga yang menetapkan jumlah perawi dalam hadits mutawatir sebanyak 70, sesuai dengan firman Allah SWT. Dalam surat Al-A’raf ayat 155 :

وَاخْتَارَ مُوسَىٰ قَوْمَهُ سَبْعِينَ رَجُلًا لِمِيقَاتِنَا



Artinya :
“ Dan Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohon tobat kepada kami) pada waktu yang telah kami tentukan…” (Q.S. Al-A’raf :155)
Mudasir dan Fathurrahman menjelaskan bahwa penentuan jumlah tertentu sebagaimana sisebutkan di atas bukan hal yang prinsip sebab persoalan pokok yang dijadikan ukurann tidak terbatas pada jumlah, tetapi diukur pada tercapainya Ilmu Daruri. Sekalipun jumlah perawinya tidak banyak, asalkan telah memberikan keyakinan bahwa berita yang mereka sampaikan itu benar, dapat dimasukkan sebagai hadits mutawatir.[4]

b. Adanya keseimbangan Antara perawi pada Thabaqat pertama dengan Thabaqat berikutnya.
Jumlah perawi hadits mutawatir, antara Thabaqat (lapisan/tingkatan) dengan thabaqat lainnya harus seimbang. Dengan demikian, bila suatu hadis diriwayatkan oleh dua puluh orang sahabat, kemudain diterima oleh sepuluh tabi’in, dan selanjutnya hanya diterima oleh lima tabi’in, tidak dapat digolongkan sebagai hadits mutawatir, sebab jumlah perawinya tidak seimbang antara Thabaqat pertama dengan Tbahaqat-thabaqat seterusnya.
Akan tetapi ada juga yang berpendapat, bahwa keseimbangan jumlah perawi pada tiap thabaqat tidaklah terlalu penting. Sebab yang diinginkan dengan banyaknya perawi adalah terhindarnya kemungkinan berbohong.[5]


c. Berdasarkan penglihatan langsung (indriawi) atau empiris.
Berita yang disampaikan oleh perawi harus berdasarkan tanggapan panca indra. Artinya, berita yang disampaikan harus merupakan hasil pendengaran atau penglihatan sendiri.dengan demikian, apabila berita itu merupakan hasil renungan, pemikiran, atau rangkuman dari peristiwa lain ataupun hasil intinbat dari dalil yang lain, tidak dapat disebut hadis mutawatir.
Dengan persyaratan yang ketat di atas, mungkinkah ada hadits mutawatir? Menurut Ibnu Hibban dan Al-Hazimy, hadits mutawatir tidak mungkin ada karena persyaratannya sangat ketat. Adapun menurut Ibnu Shalah, hadits mutawatir mungkin ada, tetapi jumlahnya sedikit, sedangkan menurut Ibnu Hajar, hadits mutawatir banyak. Hal itu terbukti dengan munculnya kitab-kitab yang menghimpun hadits mutawatir :
1) Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi Al-Akhbar Al-Mutawatirah karya As-Suyuthi (911 H)
2) Nadhum Al-Mutanatsir min Al-Haits Al-Mutawatir karya Muhammad Abdullah bin Ja’far Al-Kattany (1345 H).[6]

3. Klasifikasi Hadits Mutawatir.

Para ulama berselisih pendapat tentang pembagian hadits mutawatir. Menurut sebagian ulama, hadits mutawatir dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu Mutawatir lafdzi dan mutawatir ma’nawi. Sementara itu, menurut sebagian ulama yang lain, hadits mutawatir dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu hadits mutawatir lafdzi, mutawatir ma’nawi, dan mutawatir ‘amali.
Terjadinya perbedaab pendapat tersebut tidak terlepas dari perbedaan jumlah perawi hadits mutawatir dan persepsi mereka tentang kata-kata “ mustahil menurut adat” bahwa jumlah perawi yang dimaksud telah dianggap mustahil untuk berdusta, tetapi menurut adat yang lain tidak dianggap demikian.
a. Hadits Mutawatir Lafdzi.
Menurut Nur al-Din ‘Itr, yang dimaksud dengan hadits mutawatir adalah : “ma tawatarat riwayatuhu ‘ala lafdizn wahidin”, yaitu hadits yang mutawatir periwayatannya dalam satu lafadz. Sedangkan Mahmud al-Thahhan mendefinisikan hadits mutawatitr lafdzin sebagai “ma tawatara lafdzuhu wa ma’nahu”, yaitu hadits yang mutawatir baik lafadz maupun maknanya..
Sementara itu, Muhammad al-Shabbag mendefinisikan hadits mutawatir lafdzi dengan hadits yang diriwayatkan oleh banyak perawi sejak awal sampai akhir sanadnya, dengan memakai lafadz yang sama (lafdzun wahid).
Berdasarkan beberapa definisi di atas, Nampak bahwa kriteria yang ditetapkan dalam hadits mutawatir lafdzi sangatlah ketat. Sehingga jika dilihat dari segi kuantitasnya, maka jumlah hadits tipe ini sangat sedikit sekali. Bahkan hadits mutawatir menurut Ibn al-Shalih yang diikuti oleh al-Nawai, bahwa hadits mutawatir lafdzi sukar dikemukakan contohnya selain hadits tentang ancaman Rasulullah terhadap orang yang mendustakan sabdanya dengan ancaman neraka.
Namun pendapat ditolak oleh Ibn Hajar Al-Asqalani. Menurutnya, bahwa pendapat yang menentapkan hadits mutawatir lafdzi tidak ada, atau sedikit sekali dalah menjadi karena kurang mengetahui jalan-jalan atau keadaan-keadaan perawi serta sifat-sifatnya yang mengkehendaki bahwa mereka itu tidak mufakat untuk berdusta, atau karena kebetualn saja. Menurutnya lebih lanjur, diantara dalil yang paling baik untuk menetapkan adanya hadits mutawatir adalah kitab-kitab yang sudah terkenal diantara ahli ilmu, yang mereka sudah yakin sah disandarkan kepada pengarang-pengarangnya, apabila berkumpul untuk meriwayatkan hadits dengan berbagai jalan, tentulah meberikan disandarkan kepada yang menyabdakannya.
Diantara contoh hadits mutawatir lafdzi adalah sabda Rasulullah SAW. Sebagai berikut :
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّار
Artinya :
“ barang siapa berbuat dusta terhadap diriku secara sengaja, hendaklah ia menempati tempatnya di neraka”.
Menurut al-Imam Abu Bakar al-Sairi, bahwa hadits ini diriwayatkan secara marfu’ oleh lebih dari enam puluh sahabat. Sebagaimana ahli huffaz mengatakan, hadits ini diriwayatkan oleh enam puluh dua sahabat, termasuk sepuluh sahabat yang telah diakui akan masuk surga. Menurut mereka, tidak diketahui hadits lain yang didalam perawinya terkumpul sepuluh sahabat yang diakui akan masuk surge, kecuali hadits ini. Menurut sebagian yang lain menyatakan, hadits ini diriwayatkan oleh dua ratus sahabat. Ibrahim al-Habari dan Abu Bakar al-Bazzari mengatakan, hadits ini diriwayatkan oleh empat puluh sahabat, Abu al-Qasim ibn Manduh berpendapat bahwa hadits ini diriwayatkan oleh lebih dari delapan puluh orang. Ada juga yang menyatakan, diriwayatkan oleh seratus sahabat.[7]
b. hadits mutawatir ma’nawi
hadits mutawatir ma’nawi adalah hadits yang lafazh dan maknanya berlainan antara satu riwayat dan riwayat lainnya, tetapi terdapat persesuaian makna secara umum (kulli). Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam kaidah ilmu hadits,

ﻤﺎﺍﺤﺘﻠﻔﻮﺍ ﻔﻰ ﻠﻔﻈﻪ ﻮﻤﻌﻧﺎﻩ ﻤﻊ ﺮﺠﻮﻋﻪ ﻠﻤﻌﻧﻰ ﻜﻠﻲ

Artinya :
“Yang berlainan bunyi dan maknanya, tetapi dapat diambil makna umum”.
Contoh hadits mutawatir ma’nawi adalah :

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِي شَيْءٍ مِنْ دُعَائِهِ إِلَّا فِي الِاسْتِسْقَاءِ وَإِنَّهُ يَرْفَعُ حَتَّى يُرَى بَيَاضُ إِبْطَيْهِ
Artinya :
“Nabi SAW. Tidak mengangkat kedua tangannya dalam do’a-do’a beliau, kecuali dalam shalat istisqa, dan beliau mengankat tangannya hingga tampak putih-putih kedua ketiaknya. (H.R. Bukhari)

Hadits-hadits yang semakna dengan hadits tersebut banyak sekali lebih dari 100 hadits.
c. hadits mutawatir ‘Amali.
Hadits mutawatir ‘amali adalah :

ﻤﺎﻋﻟﻡ ﻤﻦ ﺍﻟﺪﻴﻥ ﺑﺎﻟﺿﺭﻭﺭﺓ ﻭﺗﻭﺍﺗﺭ ﺑﻴﻥ ﺍﻟﻤﺴﻟﻤﻴﻥ ﺍﺫﺍﻟﻨﺑﻲ ﺻﻟﻰﺍﷲ ﻋﻟﻴﻪ ﻭﺴﻠﻡ ﻔﻌﻟﻪ ﺍﻭ ﺍﻤﺭﺑﻪ ﺍﻭ ﻏﻴﺭ ﺫﻟﻚ ﻭﻫﻭ ﺍﻠﺫﻯ ﻴﻨﻄﻖ ﻋﻠﻴﻪ ﺘﻌﺮﻴﻒ ﺍﻷ ﺠﻤﺎﻉ ﺍﻧﻄﺑﺎﻘﺎ ﺻﺤﻴﺤﺎ

“sesuatu yang diketahui dengan mudah bahwa ia dari agama dan telah mutawatir di kalangan umat Islam bahwa Nabi Muhammad SAW. Mengajarkannya atau menuruhnya atau selain dari itu. Dari hal itu dapat dikatakan soal yang telah disepakati.
Contoh hadits mutawatir ‘amali adalah berita-berita yang menerangkan waktu dan rakaat shalat, shalat jenazah, shalat ‘Ied, hijab perempuan yang bukan mahram, kadar zakat, dan segala rupa amal yang telah menjadi kesepakatan ‘ijma.[8]

4. Faedah mempelajari hadits mutawatir.

 Hadits mutawatir memberikan faedah ilmu dharuri, yakni keharusan untuk menerima dan mengamalkannya sesuai dengan yang diberitakan oleh hadits mutawatir hingga membawa pada keyakinan yang qath’I (pasti).
Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa hadits dianggap mutawatir oleh sebagian golongan membawa keyakinan pada golongan tersebut, tetapi tidak bagi golongan lain yang tidak menganggap bahwa hadits tersebut mutawatir. Barang siapa yang telah meyakini ke-mutawatir-an hadits diwajibkan untuk mengamalkannya sesuai dengan tuntunannya. Sebaliknya, bagi mereka yang belum mengetahui dan meyakini ke-mutawatiran-nya, wajib baginya mempercayai dan mengamalkna hadits mutawatir yang disepakati para ulama sebagaimana kewajiban mereka mengikuti ketentuan-ketentuan hukum yang disepakati oleh ahli ilmu.
Para perawi mutawatir hadits mutawatir tidak perlu dipersoalkan, baik mengenai keadilan maupun kedhabitannya karena danya persyaratan  yang begitu ketat menjadikan mereka tidak mungkin sepakat untuk berdusta. Para ulama ushul dan Imam Nawawi dalam Syarah Muslim tidak menetapkan syarat “muslim” bagi para perawi haditsbmutawatir. Ada pula yang mengatakan bahwa hadits  mutawatir tidak termasuk dalam pembahasanilmu hadits sebab ilmu hadits membicarakan shahih atau tidaknya hadits dilihat dari para perawi dan cara menyampaikan periwayatnya, sedangkan dalam hadits mutawatir kualitas para perawinya tidak dijadikan sasaran pembahasan. Yang menjadi titik tekan dalam hadits mutawatir adalah kuantitas perawi dan kemungkinan ada-tidak adanya kesepakatan.[9]

B. Hadits Ahad.

1. Pengertian

Hadist ahad jama’ dari kata “ahad”, menurut Bahasa berarti Alwahid atau Satu. Dengan demikian Khabar wahid adalah suatu berita yang disampaikan oleh satu orang.
     Sedangkan yang dimaksud dengan hadist Ahad menurut istilah banyak didefinisikan para ulama, antara lain sebagai berikut yang artinya :
“Khabar yang jumlah perawinya tidak mencapai Batasan jumlah perawi hadits mutawatir baik perawi itu satu, dua, tiga, empat, lima, dan seterusnya yang tidak memberikan pengertian bahwa jumlah tersebut tidak sampai kepada jumlah perawi hadits mutawatir”.
Dari beberapa definisi diatas, jelaslah bahwa disamping hadist ahad tidak sampai kepada jumlah perawi hadist mutawatir, kandungannyapun bersifa zhanny  dan tidak bersifat qath’i.
Abdul Wahab Khalaf menyebutkan bahwa hadits ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu, dua orang atau sejumlah orang tetapi jumlahnya tidak sampai kepada jumlah perawi hadits mutawatir. Keadaan perawi seperti ini terjadi sejak perawi pertama sampai perawi terakhir.
Jumhur Ulama sepakat bahwa beramal dengan hadits ahad yang telah memenuhi ketentuan maqbul hukumnya wajib. Abu hanifah, imam Assyafii dan Imam Ahmad memakai hadits ahad bila syarat-syarat perawinya yang sahih terpenuhi.[10] Hanya saja Abu Hanifah menetapkan syarat stiqqah dan adil bagi perawinya serta amaliyah tidak menyalahi hadits yang diriwayatkan.
Sedangkan golongan qadariyah, Rafidhah dan sebagian ahli Zhahir menetapkan bahwa beramal dengan dasar hadits ahad hukumnya tidak wajib. Aljuba’I dari golongan Mu’tazilah menetapkan tidak wajib beramal kecuali berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh dua orang yang diterima dari dua orang.
Sementara yang lain mengatakan tidak wajib beramal kecuali hadist yang diriwayatkan oleh empat orang dan diriwayatkan oleh empat puluh orang.[11]

2. Klasifikasi hadits Ahad

Melihat dari jumlah perawinya, hadits ahad dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu Masyhur, Aziz, dan Gharib.
a. Mansyhur
Hadits mansyhur adalah hadis yang diriwayatkan oleh lebih dari tiga perawi dan belum mencapai batas mutawatir. Apabila dalam salah satu thabaqohnya (jenjang) dari thobaqat sanad terdapat tiga perawi maka hadits tersebut dikategorikan hadits masyhur, sekalipun pada thabaqat sebelum atau sesudahnya terdapat banyak perawi.
Istilah masyhur sering juga digunakan untuk mengungkapkan hadits-hadits yang populer di masyarakat atau komunitas tertentu.
Ada beberapa buku yang dapat dijadikan sebagai rujukan untuk mencari hadits-hadits yang masyhur di kalangan masyarakat di antaranya: al-Maqashid al-Hasanah fi al-Ahadits al-Musytahirah ‘ala al-Alsinah, karya al-hafidz Syamsuddin Muhammad al-Sakhawi (W. 902 H), dan Kasyfu al-Khafa wa Muzilu al-Ilbas, karya Ismail al-‘Ajaluni (W.1162 H).
Selain masyhur, terdapat istilah lain yang digunakan oleh sebagian ulama untuk mengungkapkan makna ini, yaitu mustafidh. Istilah ini sering digunakan para ulama ushul fiqih. Sebagian ulama memasukkan mustafidh dalam bagian hadits ahad. Adapun yang mensinonimkan hadits masyhur dengan mustafidh. Dari beberapa referensi yang ada dan dengan memperhatikan ungkapan yang digunakan oleh para ulama dalam membedakan dua jenis hadits nampaknya tidak terdapat Batasan yang jelas antara masyhur dan mustafidh.[12]

b. Aziz
Hadits Aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua atau perawi dalam salah satu thabaqatnya. Ini adalah definisi Ibn Shalah dan diikuti pula oleh imam Nawawi. Hadits riwayat dua atau tiga perawi dapat dikategorikan Aziz. Ibn Hajar lebih condong pada riwayat dua orang untuk definisi dan tiga orang untuk definisi Masyhur.
Contoh hadits yang  dikategorikan Aziz, adalah :
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ
Artinya:
Belum sempurna iman seseorang jika ia belum mencitaiku melebihi cintanya kepada orang tuanya, anaknya dan semua orang”.

c. Gharib
Hadits gharib adalah hadits yang hanya diriwayatkan oleh satu orang dalam salah thabaqatnya. Dinamakan demikian karena ia tampak menyendiri, seakan-akan terasing dari yang lain,atau jauh dari tataran masyhur apalagi mutawatir. Ibarat orang yang pergi jauh terasing dari sanak keluarganya. Para ulama membagi hadits menjadi dua berdasarkan letak keterasingannya :
1) Gharib Mutlak
Dikatakan gharib mutlak, jika dalam salah satu tingkatan sandnya terdapat hanya seorang perawi yang meriwayatkan. Misalnya hadits shahih yang artinya:
“ ada dua kalimat yang ringan untuk diucapkan oleh lidah namun berat bobot timbanganya dan sangat dicintai oleh Allah,  kalimat itu adalah subhanallahil adlim subhanallah wa bi hamdih”
Hadits ini pada tingkatan sahabat diriwayatkan hanya oleh Abu Hurairah, demikian pula pada tingkatan berikutnya yang hanya diriwayatkan oleh seseorang perawi.
2) Gharib nisbi
Gharib nisbi yaitu hadis yang dalam sanad nya terdapat perbedaan yang membedakan dengan kondisi mayoritas sanad. Gharib nisbi tidak berkaitan dengan jumlah perawi, namun lebih pada kondisi yang asing atau beda bila dibanding dengan kondisi sanad lain. Perbedaan tersebut bisa berkaitan dengan tempat atau sifat perawi. Misalnya dalam sebuah sanad haditsseluruh perawinya berasal dari kota yang sama, Bashrah misalnya. Atau mereka memiliki predikat sifat yang sama, yaitu tsiqah.
            Istilah lain yyang disepadankan dengan Gharib adalah munfarid. Sebagian ulama membedakan dua istilah tersebut seperti Al-Qariyy yang kemudian dianut oleh Nuruddin ‘Itr’. ‘Itr menilai ada sisi-sisi tertentu yang tidak bisa disepadankan, terutama yang berkaitan dengan contoh pembagiannya.
            Sebagian ulama lain justru menyamakan dua istilah tersebut baik secara etimologi maupun terminologi. Mereka menilai bahwa perbedaan sebenarnya bukan pada masalah essensial, namun sebatas pengkategorian kasus. Pendapat ini dianut ini Muhammad Adib Sholeh.
            Ditinjau dari aspek kualitas hadist ahad ada yang berstatus shoheh, ada yang hasan dan ada pula yang dhaif’, bergatung pada syurut al Qabul (syarat-syarat penerima hadits). Jika memenuhi syarat dapat dikatagorikan hadits ahad yang shohih atau hasan, jika tidak makam dhaif’.[13]












BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Hadits mutawatir dapat berarti mutatabi, yaitu sesuatu yang datang secara beriringan antara satu dan lainnya dan diantara keduanya tidak ada sekat. Sedangkan menurut istilah, hadits mitawatir adalah Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang menurut adat mustahil mereka terlebih dahulu bersepakat untuk berdusta. Dan adapun untuk klasifikasi hadits mutawatir terbagi menjadi 3 yaitu: Hadits Mutawatir Lafdzi, Hadits Muitawatir Ma’nawi, dan Hadits Mutawatir ‘Amali. Dan juga faedah mempelajari hadits mutawatir adalah memberikan faedah dhahuri, yakni keharusan untuk menerima dan mengamalkannya sesuai dengan ynag diberikan oleh hadits mutawatir hingga membawa pada keyakinan yang qath’i.              
Hadits ahad menurut Bahasa berarti Al-wahid atau satu, sedangkan hadits ahad menurut istilah adalah khabar yang jumlah perawinya tidak mencapai Batasan jumlah perawi hadits mutawatir baik perawi itu satu, dua, tiga, empat, lima, dan seterusnya yang tidak memberikan pengertian bahwa jumlah tersebut tidak sampai kepada jumlah perawi hadits. Dan adapun kalsifikasi hadits Ahad terbagi menjadi 3 yaitu: Mansyhur, ‘aziz, dan Gharib







DAFTAR PUSTAKA


Hasan, Mustofa. 2012.  Ilmu Hadis. Bandung : Pustaka Setia.
Ichwan, Mohammad Nor. 2013. Membahas Ilmu-Ilmu Hadits. Semarang: Rasail Media Group.
Semeer, Zeid B. 2008. Ulumul Hadits. Malang: UIN-Malang Press.
Solahudin, Agus. 2009. Ulumul Hadits. Bandung: Pustaka Setia.
 Suparta, Munzier. 2002. Ilmu Hadis. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.




[1] Mustofa Hasan, Ilmu Hadis,Pustaka Setia,Bandung,2012,hlm:193
[2] Mohammad Nor Ichwan, Membahas Ilmu-Ilmu Hadits, Rasail Media Group, Semarang, 2013, hlm: 169
[3] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm: 97
[4] Mustofa Hasan, op cit,  hlm: 195
[5]  Munzier Suparto, op cit, hlm:100
[6]  Mustofa Hasan, op cit, hlm:196
[7] Muhammad Nor Ichwan, op cit, hlm: 176-178
[8] Agus Solahudin, Ulumul Hadits, Pustaka Setia, Bandung, 2010, hlm: 131-132.
[9] Op cit, Mustofa Hasan, hlm: 200-201
[10] Ibid Munzier Suparta hal. 109
[11] Munzier Suparta, op cit, hlm. 107-110
[12] Zeid B. Smeer, Ulumul Hadits, UIN-Malang Press, Malang, 2008, hlm: 43
[13] Ibid, hlm: 45-46

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Teori Atom Mekanika Kuantum Dan Atom Bohr

TEORI ATOM BOHR DAN MEKANIKA KUANTUM A.       Atom Bohr Dilihat dari kandungan energi elektron, ternyata model atom Rutherford mempu...